Sejak media sosial viral dengan hate speech yang menyinggung agama dan
kepercayaan tertentu dan beberapa teman Facebook saya juga tiba-tiba menjadi
anggota kubu ini, saya tidak pernah berniat untuk membuat tulisan yang
menyinggung masalah ini. Terlebih lagi ada tulisan Afi yang viral dan
ditanggapi beragam, termasuk yang katanya sedang kuliah S2 di Jerman, ditambah
lagi sekarang sedang bulan puasa, saya semakin tidak ingin memperuncing keadaan
karena berdasarkan pengalaman, debat di media sosial tidak akan membawa
perubahan apapun.
Ketika akhirnya saya memutuskan menulis
ini adalah karena topik yang sangat menarik muncul di timeline Facebook saya tentang tulisan seseorang yang bertanya ‘Apakah kamu punya teman yang beda agama?’
Jujur saja, topik ini mengguggah saya dan tergerak untuk menuliskan pengalaman saya memiliki teman
berbeda agama.
And the answer is, yes.
Saya dilahirkan di keluarga
Muslim. Almarhum ayah saya berasal dari Solo, sedangkan ibu saya dari Jatibarang,
kecamatan kecil di Kabupaten Indramayu. Kedua orang tua saya sudah bekerja di
Jakarta sewaktu saya lahir sehingga saya menghabiskan masa kecil hingga kelas 1
SMP di Jakarta. Pertanyaan tentang teman beda agama inilah yang membuat saya
teringat akan masa kecil saya karena di kompleks perumahan tempat saya tinggal,
saya justru jadi minoritas. Hampir semua tetangga dan teman-teman saya dari
golongan etnis yang sedang ramai dibicarakan pada saat ini dan sudah pasti juga
non Muslim. Setiap sore, saya pasti bermain dengan teman-teman sebaya yang
sudah pasti agamanya beda dengan saya.
Lalu, apakah jadi masalah?
Tidak.
Saya dibesarkan di keluarga yang
mengajarkan saya dan adik-adik untuk berpikiran terbuka. Lingkungan saya
mayoritas non Muslim, tapi kami saling menghormati. Almarhum ayah selalu memberi kue pada saat Natal untuk para tetangga dan sebaliknya, mereka juga memberi
keluarga saya parsel setiap Hari Raya tiba. Tindakan yang mungkin sepele dan tidak ada artinya, tapi dari sini saya belajar untuk saling menghormati dan menghargai. Saya juga tidak melupakan agama saya sendiri. Saya les mengaji, berpuasa,
dan pergi ke mesjid walaupun tidak ada teman yang menemani, paling ditemani
oleh asisten rumah tangga.
Di lingkungan sekolah sewaktu
saya SD, saya bersekolah di sekolah umum yang sudah pasti tidak semuanya
Muslim. Di dekat sekolah saya, ada sekolah swasta dimana teman-teman yang
bertetangga dengan saya mayoritas bersekolah di sekolah itu. Saya bahkan
memiliki teman baik yang agamanya Kristen dan kami masih berteman baik hingga
saat ini. Dia sering ikut saya mudik ke kampung halaman dan sebaliknya, dia
sering mengundang saya makan di rumahnya untuk perayaan Natal.
Lalu, apakah jadi masalah?
Tidak.
Kami tetap bermain dan berteman seperti
biasa. Tidak ada kata-kata ‘kafir’ atau saling menghujat.
Sewaktu SMP dan keadaan
mengharuskan saya pindah ke kampung halaman, pergaulan saya masih stagnan dan
juga ada beberapa teman yang berbeda agama, tapi kami berteman baik. Ketika
saya mulai SMA, pergaulan saya semakin luas. Di masa-masa ini juga saya kenal
teman-teman lawan jenis yang berbeda agama, satu diantaranya bahkan masih
menjadi teman baik saya hingga saat ini dan dia beragama Katolik.
Ketika saya sekolah dulu memang
belum ada ketentuan yang mengharuskan para siswinya mengenakan kerudung, jadi
saya memang masih pakai rok sebatas lutut dan kemeja biasa. Saat ini hampir
semua sekolah di daerah saya mengharuskan siswinya mengenakan kerudung yang
membuat saya bertanya-tanya bagaimana nasib para siswi yang non Muslim? Tidak
semua siswi non Muslim mau bersekolah di sekolah swasta. Belum lagi ada kasus
di satu daerah, orang tua siswi non Muslim melaporkan putrinya dilecehkan oleh
teman-temannya dengan sebutan ‘kafir’ karena tidak mengenakan kerudung.
Sebegitu parahkah intoleransi di negara kita yang dulu sering dipuji oleh negara lain karena
bisa rukun walaupun banyak ras, suku, dan agama?
Pada masa kuliah, teman-teman
seangkatan beberapa juga non Muslim, tapi kami tetap kompak hingga saat ini.
Sekarang, pada saat saya menjadi
penulis, teman-teman saya mayoritas dari luar negeri yang pastinya non Muslim.
Apakah saya antipati?
Tidak.
Satu hal lagi, nenek saya dari
pihak ibu masih ada keturunan etnis yang saat ini sedang dihina lagi oleh
sebagian besar masyarakat Indonesia. Terus, saya jadi kafir?
Kita semua masih jadi hambaNya,
tidak berhak menilai kadar keimanan seseorang. Ibadah kita kepada Tuhan, tetapi
hubungan dengan sesama manusia juga penting, apapun agamanya. Saya tidak yakin apakah tulisan
saya ini bisa seviral tulisan Afi, saya hanya tergelitik saja untuk menuliskan
pengalaman saya mempunyai teman-teman yang berbeda agama.